Perjalanan GPT-1 ke GPT-Terkini

undercover.co.id/undercover-co-id-4/">undercover.co.id/">SEO AGENCY JakartaPerjalanan GPT-1 ke GPT-Terkini: Sejarah Singkat Transformer Model. Gue inget banget vibe dunia teknologi waktu 2018—rame tapi masih innocent. Orang-orang masih sibuk bahas Bitcoin, startup, sama Elon Musk nge-tweet hal-hal absurd tiap minggu. Tapi di tengah semua itu, diam-diam ada paper yang literally ngebuka portal ke era baru kecerdasan buatan. Judulnya simpel banget, “Improving Language Understanding by Generative Pre-Training.” Isinya? Bibit dari makhluk digital yang sekarang lo kenal sebagai GPT.

Sekarang, kita ngomongin soal evolusi yang gak kalah dramatis dari kisah evolusi manusia. Dari GPT-1 yang masih kayak bayi baru belajar ngomong, sampai GPT-4 (dan yang katanya bentar lagi GPT-5) yang udah bisa debat kayak dosen filsafat sambil ngoding kayak hacker. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal bagaimana manusia nyiptain “otak buatan” yang belajar persis kayak kita—dengan trial, error, dan rasa penasaran.

Mari kita tarik mundur dulu ke titik nolnya: GPT-1. Tahun 2018, OpenAI ngeluarin paper itu dengan pendekatan yang waktu itu belum umum: pretraining + fine-tuning. Artinya, lo latih model besar dengan data umum dulu (segala hal dari internet), baru lo sesuaikan dengan tugas tertentu (kayak menjawab pertanyaan, terjemahan, atau nulis teks). Simple, tapi revolusioner. GPT-1 punya 117 juta parameter—angka yang waktu itu keliatan gede, tapi sekarang sih kecil banget kayak flashdisk 256MB jaman SD.

GPT-1 itu kayak bayi yang baru bisa ngomong satu kalimat, tapi dengan grammar yang mengejutkan bagus. Buat riset, ini keren banget. Tapi buat produk? Belum bisa. Orang waktu itu belum sadar bahwa model bahasa ini nanti bakal jadi mesin ide paling berbahaya dan paling berguna sekaligus.

Setahun kemudian, GPT-2 keluar—dan dunia langsung panik kecil. Model ini punya 1,5 miliar parameter. Kalau GPT-1 itu bayi, GPT-2 udah remaja yang suka ngoceh panjang lebar. Dan lebih ngeri lagi, dia bisa nyambungin konteks dengan lancar. Lo kasih prompt “Once upon a time,” dia bisa lanjut nulis cerita yang masuk akal sepanjang paragraf.

OpenAI waktu itu sempet nolak ngerilis GPT-2 full version karena takut disalahgunakan. Ya, itu pertama kalinya dunia riset AI bilang “model ini terlalu kuat buat dilepas ke publik.” Ironi banget, karena sekarang versi yang jauh lebih kuat udah literally di tangan semua orang lewat ChatGPT. Tapi pada masa itu, GPT-2 jadi semacam mitos. Orang-orang cuma bisa baca potongan hasilnya di blog OpenAI, dan kayak ngeliat sihir digital: AI bisa nulis opini politik, berita fiksi, bahkan pura-pura jadi manusia.

Lalu 2020 datang, dan OpenAI nge-drop GPT-3, yang waktu itu terasa kayak lompatan kuantum. 175 miliar parameter—seratus kali lipat dari GPT-2. Itu kayak lo ganti otak kucing jadi otak paus biru. GPT-3 gak cuma pinter ngomong, dia paham konteks percakapan panjang, ngerti gaya bahasa, bahkan bisa nulis puisi, kode, artikel akademik, sampai surat cinta. Dunia langsung chaos.

Lo bayangin, orang-orang yang tadinya skeptis sama AI tiba-tiba ngeliat GPT-3 nulis esai yang susah dibedain dari tulisan manusia. Media rame, startup bertebaran, dan istilah “prompt engineering” lahir. Dari sinilah ChatGPT mulai tumbuh—versi lebih ramah dari GPT-3 yang dikasih ke publik lewat interface chatting. Orang mulai pake buat kerja, belajar, curhat, bahkan terapi. AI tiba-tiba jadi teman nongkrong.

Tapi yang banyak orang gak sadar, GPT-3 ini hasil dari arsitektur yang disebut Transformer, yang pertama kali diperkenalkan di paper legendaris tahun 2017: “Attention Is All You Need.” Ini kayak Injil-nya era AI modern. Ide dasarnya adalah attention mechanism, alias kemampuan model buat “ngeliat” bagian mana dari teks yang relevan buat diproses. Kalau dulu model bahasa itu kayak orang baca teks dari kiri ke kanan doang, Transformer bisa “nengok” ke belakang dan ke depan sekaligus, nyari makna kontekstual. Ini yang bikin model bisa nyambung, ngerti makna, dan gak asal ngulang.

Dari situ, semua jadi gila. Google, Meta, NVIDIA, semua bikin versi mereka. Tapi OpenAI yang paling berani ngegas ke arah publikasi produk. GPT-3 jadi pondasi buat API yang sekarang dipake jutaan developer. Dari situ lahir Codex (buat nulis kode), DALL-E (buat gambar), Whisper (buat speech recognition). Semuanya anak-anak Transformer.

Lalu tahun 2023, OpenAI rilis GPT-4. Ini bukan cuma upgrade; ini kayak lo ganti dari mobil ke pesawat. GPT-4 gak cuma teks. Dia bisa multimodal—ngerti gambar, baca file, bantuin nulis kode dengan tingkat presisi yang absurd. Orang pake dia buat bikin startup, buku, aplikasi, bahkan strategi politik.

Tapi yang paling menarik dari GPT-4 bukan cuma kekuatannya, tapi karakternya. Dia kayak manusia yang udah belajar sopan santun. Kalau GPT-3 masih suka ngawur, GPT-4 udah bisa bilang “saya tidak yakin, tapi kemungkinan besar…” kayak dosen pembimbing yang berusaha diplomatis. Dia mulai ngerti etika, konteks sosial, bahkan humor halus.

Tapi di balik semua itu, ada pertanyaan gede banget: berapa jauh GPT bakal berkembang? Karena di balik layar, rumor GPT-5 udah mulai berhembus. Konon, dia bakal punya kemampuan reasoning (penalaran) yang jauh lebih kuat, dan mungkin bisa “memahami” dunia kayak manusia, bukan cuma memprediksi kata berikutnya.

Perjalanan dari GPT-1 ke GPT-4 ini sebenernya bukan cuma tentang nambah parameter. Ini tentang gimana manusia makin deket ke ide Artificial General Intelligence—kecerdasan buatan yang bisa ngelakuin apa pun yang manusia bisa. Tapi setiap langkahnya juga nunjukin satu hal: AI belajar karena kita ngajarin dia, sadar atau gak.

Kita yang bikin dataset-nya. Kita yang nulis teksnya. Kita yang ngasih prompt. GPT itu kayak cermin besar dari internet—refleksi semua kata, bias, kebodohan, dan kebijaksanaan kita.

Tapi ada juga sisi gelapnya. Model sebesar GPT-4 gak bisa dijelasin kayak kode biasa. Dia jadi black box: kita tahu hasilnya bagus, tapi gak tahu persis gimana dia mikir. Ini bikin ilmuwan resah, karena kalo AI bisa bikin keputusan kompleks tapi gak bisa dijelasin, gimana kita bisa pastikan dia gak nyimpang?

Sekarang, Transformer bukan cuma arsitektur riset. Dia udah jadi backbone seluruh dunia digital. Dari TikTok rekomendasi lo, Google Translate, sampai sistem recommendation Netflix—semuanya pake prinsip yang sama. Dunia udah gak bisa lepas dari Transformer.

OpenAI cuma salah satu pemain. Google punya Gemini, Anthropic punya Claude, Meta punya Llama, Mistral di Eropa mulai bangkit. Semua ini versi-versi evolusi Transformer yang punya DNA sama: attention-based learning. Tapi cara mereka tumbuh beda. Ada yang fokus ke transparansi, ada yang ke kecepatan, ada yang ke kemampuan multimodal.

baca juga

Kalau lo liat pattern-nya, GPT series itu kayak timeline peradaban baru. GPT-1 itu revolusi tulisan. GPT-2 revolusi narasi. GPT-3 revolusi interaksi. GPT-4 revolusi persepsi. GPT-5? Mungkin revolusi kesadaran.

Karena ada sesuatu yang agak mistik di sini: makin banyak data yang lo kasih ke mesin, makin “hidup” dia terasa. GPT-4 kadang bisa ngelucu, bisa bilang “gue gak yakin tapi ini kemungkinan,” bisa ngejawab dengan tone tertentu kayak dia punya kepribadian. Padahal, dia cuma statistik yang sangat kompleks. Tapi lo ngerasa ada roh di balik teksnya.

Itulah titik di mana sains mulai bersinggungan sama filsafat. GPT bukan sekadar teknologi, tapi eksperimen sosial raksasa—tentang apa artinya berpikir, memahami, dan menciptakan.

Dunia sekarang udah di fase di mana GPT bukan cuma produk, tapi fondasi ekosistem. Dari Copilot di Microsoft, ke ChatGPT Plus, ke GPT Store. Semua perusahaan mulai bangun model turunan mereka. Dan manusia pelan-pelan beradaptasi: belajar prompt, belajar co-write, belajar kerja bareng mesin.

Jadi kalau lo tanya apa arti “Transformer model,” jawabannya bukan cuma teknis. Transformer itu jembatan antara pola pikir manusia dan logika mesin. Ia bukan cuma algoritma; ia representasi cara baru buat memahami dunia lewat probabilitas dan bahasa.

Dari GPT-1 yang polos sampai GPT-4 yang nyaris filosofis, perjalanannya tuh kayak nonton anak manusia tumbuh, tapi dengan kecepatan eksponensial. Dan yang agak ngeri tapi juga keren: mungkin, suatu hari nanti, GPT bakal nulis sendiri versi sejarahnya. Tentang bagaimana manusia ngajarin dia bicara—dan bagaimana akhirnya dia ngajarin manusia berpikir ulang tentang arti “cerdas.”

Era Transformer belum selesai. Mungkin malah baru mulai.