Perang Dingin dan Lahirnya AI

undercover.co.id/undercover-co-id-4/">undercover.co.id/">https://undercover.co.id/ Perang Dingin dan Lahirnya AI: Dari Komputer Militer ke Otak Mesin. Lo pernah mikir gak, kalau tanpa Perang Dingin mungkin AI gak bakal lahir secepat ini? Ironis banget, teknologi yang sekarang lo pake buat nyari inspirasi di laptop, bikin filter IG, atau bahkan ngetik artikel di ChatGPT, akarnya justru dari paranoia politik dunia tahun 1950–1980an. Saat dua kubu adidaya—AS dan Uni Soviet—lagi adu gengsi nuklir, satelit, sampai spionase, tiba-tiba komputer berubah jadi senjata. Dari situ lahirlah fondasi AI modern. Mari kita gali kisah absurd tapi krusial ini.

Dari Bom Atom ke Komputer Otak Mesin

Setelah bom Hiroshima & Nagasaki, semua orang sadar: perang bukan cuma soal tank dan tentara, tapi otak. Uni Soviet dan Amerika pengen punya senjata “paling cerdas”. Makanya, riset komputer langsung ngegas. Komputer ENIAC yang tadinya cuma buat hitung artileri, pelan-pelan dikasih misi baru: bikin mesin mikir.

Alan Turing udah kasih clue soal mesin yang bisa “berpikir”. Tapi konteks Perang Dingin bikin ide itu jadi kebutuhan nyata. Bayangin lo jadi jenderal di Pentagon. Lo pengen sistem radar yang bisa bedain mana pesawat musuh mana burung. Lo butuh algoritma buat prediksi jalur rudal. Nah, di situlah AI versi awal masuk: pattern recognition, signal processing, sampai early neural networks.


DARPA: Uang Perang, Bahan Bakar AI

Kalau ngomongin Perang Dingin dan AI, gak bisa lepas dari DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency). Lembaga ini basically ATM-nya ilmuwan AS. Tahun 1960an, mereka ngefund riset komputer di MIT, Stanford, dan Carnegie Mellon. Hasilnya? Bukan cuma algoritma AI awal, tapi juga internet (ARPANET). Jadi, tanpa paranoia nuklir, mungkin gak ada internet, gak ada AI, gak ada ChatGPT. Mind-blowing kan?

Uni Soviet juga gak mau kalah. Mereka bikin riset di Akademi Ilmu Pengetahuan Moskow, fokus ke cybernetics dan sistem kontrol. Walaupun gak se-lincah AS, motivasinya sama: bikin mesin yang bisa mikir buat perang.


Spionase, Satelit, dan AI Bayi

Coba lo bayangin tahun 1960an. Satelit U-2 dan Sputnik ngiter di orbit, ngirim data foto bumi. Jutaan gambar harus dianalisis. Manual? Gak mungkin. Dari sinilah muncul computer vision awal. AI dipakai buat image recognition. Mirip banget sama teknologi yang sekarang dipakai buat scan wajah di HP lo.

Di bidang spionase, AI versi primitif dipakai buat code breaking. Mesin dikasih jutaan kombinasi buat ngebongkar sandi Soviet. Ironisnya, di sisi lain, Soviet juga bikin hal sama buat sandi Amerika. Jadi, AI bayi ini basically lahir dari paranoia dan kecurigaan.


Dari Battlefield ke Marketplace

Yang gokil: riset AI waktu Perang Dingin awalnya memang buat perang, tapi spillover-nya gede banget. Bayangin aja:

  • Teknologi speech recognition awal lahir dari proyek militer (buat komunikasi pilot).
  • Sistem pakar (expert systems) awalnya buat navigasi pesawat tempur.
  • Neural network dipakai buat deteksi radar musuh.

Setelah perang mereda, semua itu migrasi ke sipil. IBM misalnya, pake konsep expert system buat bisnis. Fast forward → 2025, AI udah jadi backbone startup, e-commerce, sampe entertainment.


Ironi: Tanpa Perang, AI Mungkin Gak Secepat Ini

Lo boleh benci perang, tapi harus jujur: tekanan politik bikin funding riset ngacir gila-gilaan. Tahun 1950–70an, kalau lo ilmuwan komputer di AS, basically lo tinggal bilang “ini bisa bantu lawan Soviet” → langsung cair duit. Dari sinilah lahir generasi profesor AI pertama: Marvin Minsky, John McCarthy, Herbert Simon, dll. Mereka semua anak emas Perang Dingin.

Sekarang, AI udah pindah rumah. Dari bunker nuklir ke smartphone lo. Dari ruang kontrol rudal ke TikTok algorithm. Dari mesin yang awalnya diciptain buat bunuh musuh, sekarang dipakai buat nyari lagu trending. Ironi sekaligus bukti: teknologi selalu punya sisi gelap dan terang.

baca juga