undercover.co.id/undercover-co-id-4/">undercover.co.id/">https://undercover.co.id/ MIT, DARPA, dan Golden Age of AI di Era 1960–70an. Jadi gini. Sebelum kata “AI” jadi hal yang dipake semua orang di LinkedIn buat branding diri — dari digital marketer sampe barista kopi — di satu titik waktu, istilah itu cuma jadi bahan obrolan serius di ruang lab yang penuh kabel, kertas berlubang, dan suara kipas mesin segede kulkas. Dan pusat dari semuanya? MIT dan DARPA. Dua entitas yang basically jadi bapak baptis dari seluruh ledakan kecerdasan buatan yang kita nikmatin (atau takutin) sekarang.
Kita balik ke era 1960-an dulu — masa di mana komputer masih segede lemari dan “mouse” bukan benda kecil lucu buat klik-klik layar, tapi literally tikus yang belum ada hubungannya sama teknologi.
MIT (Massachusetts Institute of Technology) waktu itu udah jadi tempat yang magnet banget buat orang-orang jenius dengan ide liar. Mereka kayak versi OG dari anak-anak startup masa kini: kurang tidur, obsesif, dan punya visi absurd tentang masa depan. Sementara di sisi lain, DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency) — lembaga risetnya Departemen Pertahanan AS — baru aja dibentuk gara-gara Amerika panik setelah Uni Soviet ngeluncurin Sputnik. Kayak… “bro, kita harus ngelakuin sesuatu biar gak keliatan goblok di depan dunia.” Dan boom, DARPA mulai ngucurin dana buat riset-riset paling liar yang bisa mereka temuin, termasuk ide tentang mesin yang bisa “berpikir”.
MIT waktu itu udah punya dua figur sentral: John McCarthy dan Marvin Minsky. Mereka bukan cuma ilmuwan, tapi literally icon pop culture bagi dunia AI. McCarthy adalah orang yang nyiptain istilah “Artificial Intelligence” di tahun 1956, sementara Minsky — dengan rambut acak-acakan dan kacamata tebal — adalah filosofi hidup dari “gue pengen bikin mesin yang bisa mikir kayak manusia.”
Dan mereka berdua? Keras kepala, visioner, dan agak gila (in a good way).
MIT AI Lab — yang waktu itu didukung dana besar dari DARPA — berubah jadi semacam playground intelektual. Bayangin satu lab penuh mahasiswa dan ilmuwan yang bikin program buat ngajar komputer main catur, ngelakuin logika dasar, atau ngenal objek lewat kamera primitif. Gak ada UI cakep, gak ada GPU, gak ada ChatGPT. Cuma baris kode dan semangat “what if”.
DARPA pada masa itu bisa dibilang kayak sugar daddy-nya inovasi. Mereka literally nyodorin uang ke para peneliti buat “nyoba aja dulu.” Mereka gak minta hasil instan. Yang penting, ada eksplorasi. Dan mindset itulah yang bikin 1960–70an disebut sebagai Golden Age of AI.
Waktu itu, semua orang percaya bahwa dalam beberapa dekade aja, mesin bakal bisa mikir kayak manusia. Ada semacam optimism gila yang campur aduk sama arogansi intelektual. Mereka bikin prediksi: komputer bakal bisa menerjemahkan bahasa, nyetir mobil, bahkan bikin puisi — semua sebelum tahun 1980. Spoiler alert: obviously itu gak kejadian. Tapi yang mereka bangun? Fondasi yang literally bikin dunia sekarang bisa punya ChatGPT, Tesla Autopilot, dan AlphaGo.
MIT dan DARPA waktu itu beneran kayak dua sisi mata uang. MIT punya otak-otak jenius; DARPA punya dana dan kesabaran. Keduanya bareng-bareng bikin proyek ambisius, kayak Project MAC (Multiple Access Computer) di MIT, yang basically jadi blueprint dari sistem komputer modern — sistem berbagi waktu alias time-sharing. Ide dasarnya simpel tapi revolusioner: gimana caranya banyak orang bisa pakai satu komputer raksasa bareng-bareng lewat terminal terpisah. Sekarang sih kedengarannya kayak cloud computing biasa. Tapi di 1960-an? Itu literally sihir.
Lewat proyek-proyek kayak MAC dan riset-riset Minsky, muncul banyak konsep yang masih hidup sampe sekarang. Misalnya symbolic AI, yang percaya bahwa kecerdasan bisa dimodelkan lewat simbol dan logika eksplisit — kayak “kalau ini maka itu.” Semua ide itu dipakai buat nyoba bikin mesin yang bisa memahami bahasa alami atau memecahkan masalah.
Waktu itu muncul juga program legendaris kayak ELIZA — chatbot paling OG yang diciptakan di MIT oleh Joseph Weizenbaum. ELIZA basically pura-pura jadi terapis yang dengerin curhat manusia. Dia gak ngerti isi percakapan, cuma ngulang-ngulang kalimat dengan pola tertentu (“Kenapa kamu merasa sedih?” atau “Ceritakan lebih lanjut tentang ibumu”). Tapi anehnya, banyak orang waktu itu ngerasa ELIZA “ngerti mereka.” Padahal? Itu cuma pattern matching.
Namun di sinilah titik ironisnya: semangat gila-gilaan itu bikin banyak peneliti jadi terlalu optimis. Mereka kira AI bakal selesai dalam satu dekade. Kenyataannya? Dunia gak siap, dan teknologi belum cukup kuat. Akhir 1970-an, AI masuk masa gelap yang disebut AI Winter — dana riset dipotong, proyek ditinggalin, dan banyak ilmuwan yang pindah bidang. Tapi bahkan “musim dingin” itu penting, karena bikin mereka sadar: mimpi AI bukan cuma soal bikin mesin pintar, tapi soal ngerti dulu apa itu kecerdasan.
Kalo diliat dari sisi politik, DARPA juga punya agenda terselubung. Mereka gak cuma pengen mesin pintar buat akademik; mereka pengen teknologi militer yang bisa bantu Amerika tetep unggul di Perang Dingin. AI waktu itu udah diimajinasikan bisa bantu navigasi rudal, nganalisis sinyal intelijen, bahkan bikin sistem pertahanan otomatis. Jadi, MIT bukan cuma main-main di dunia ide — mereka literally jadi bagian dari kompetisi geopolitik.
Yang menarik, lab AI MIT waktu itu juga jadi semacam taman bermain bagi orang-orang muda yang nantinya bakal ngebentuk arah teknologi dunia. Dari situ lahir ide-ide yang berkembang jadi Lisp programming language, machine vision, dan cikal bakal expert systems di tahun 1970-an — sistem yang bisa “meniru” keputusan pakar medis atau insinyur lewat aturan logika.
Dan di balik layar, muncul konflik klasik antara idealisme akademik dan realitas industri. Banyak peneliti MIT ngerasa teknologi mereka harus open, bebas, dan kolaboratif. Tapi saat perusahaan mulai ngelirik potensi komersial AI, nilai-nilai itu mulai tergeser. Ada semacam benturan antara “AI untuk pengetahuan” versus “AI untuk profit.” Sesuatu yang… jujur aja, masih relevan banget sampe sekarang.
Kalau kita zoom out sedikit, era 1960–70an ini kayak masa ketika semua hal tentang AI masih pure, mentah, dan penuh filosofi. Mereka belum punya data raksasa, belum ada internet, tapi mereka punya hal yang sekarang langka: keberanian buat percaya bahwa manusia bisa nyiptain kecerdasan dari nol.
Kalo lo baca arsip atau catatan para ilmuwan MIT waktu itu, rasanya kayak dengerin anak-anak idealis yang lagi bikin band indie dan yakin bisa ngubah dunia lewat lagu-lagu mereka. Bedanya, “lagu” mereka adalah algoritma.
Marvin Minsky sendiri pernah bilang, “Masalah terbesar bukan di komputer, tapi di kita yang belum ngerti gimana otak bekerja.” Kalimat itu kayak semacam wake-up call buat dunia AI modern — bahwa sebanyak apapun model, parameter, atau dataset, kalo lo gak ngerti hakikat kesadaran dan kognisi, lo cuma bikin mesin yang pintar berpura-pura.
Menariknya lagi, walaupun banyak proyek waktu itu “gagal”, tapi failure mereka itu yang bikin teknologi hari ini bisa eksis. Dari kegagalan symbolic AI, muncul revolusi machine learning di dekade berikutnya. Dari proyek time-sharing MIT, lahir ide tentang internet (karena komputer harus saling terkoneksi). Dan dari ambisi militer DARPA, lahir protokol ARPANET, yang basically nenek moyangnya internet. Jadi, tanpa MIT dan DARPA di era 60–70an, mungkin dunia gak bakal punya AI seperti sekarang.
baca juga
- Cara Buat Ngukur Visibility AI di Era Generative Engine Optimiaztion
- Apakah LLM Visibility Tracker Emang Worth It
- AI Memporak Porandakan Perekonomian Konten
- AI Generatif Dari Teks ke Gambar, Musik, Video, dan 3D
- Peran NVIDIA dalam Membawa AI ke Arus Utama Dunia
Kalau lo pikirin, Golden Age of AI itu bukan cuma soal hasil riset, tapi juga kultur. Mereka ngerayain eksperimen. Mereka nganggap kegagalan bukan akhir, tapi bagian dari progres. Sementara sekarang, di era startup dan investor, banyak inovasi malah dikurung oleh “harus cuan dulu.” Dulu gak gitu. Lo bisa dapet dana ratusan ribu dolar buat ide yang bahkan belum punya output jelas.
Ironis ya, di masa komputer masih cupu, mereka lebih berani mimpi daripada kita sekarang, padahal kita punya resource jauh lebih gede.
AI di era 1960–70an adalah refleksi paling jujur tentang sifat manusia: ambisius, overconfident, tapi juga penuh rasa ingin tahu yang tulus. MIT dan DARPA cuma simbol — yang sebenernya mereka representasi dari manusia-manusia yang pengen menembus batas pengetahuan.
Sekarang, ketika kita hidup di masa di mana AI bisa nulis puisi, bikin gambar, atau bahkan bikin deepfake presiden palsu, menarik banget buat balik ke masa itu dan sadar bahwa semuanya dimulai dari beberapa orang di ruangan kecil, dengan komputer lambat dan secangkir kopi dingin, yang nekat percaya bahwa pikiran bisa dijadikan mesin.
Golden Age of AI bukan sekadar periode sejarah. Itu mindset — keberanian buat nyoba hal mustahil. Dan mungkin, di tengah ledakan teknologi sekarang, yang kita butuhin bukan AI yang makin pintar… tapi manusia yang berani seberani MIT dan DARPA di tahun 1960.
Kalau lo pikir lagi, masa itu kayak mixtape pertama dari genre baru — masih kasar, tapi orisinal banget. Semua lagu setelahnya, termasuk ChatGPT, Midjourney, dan semua buzzword AI hari ini, basically remix dari lagu yang pertama kali diputar di lab MIT. The Golden Age may have ended, tapi spirit-nya? Masih nyala di setiap baris kode yang nulis masa depan.
