Bongkar Mitos-Mitos Digital Marketing

Bongkar Mitos-Mitos Digital Marketing

Digital marketing memang sudah bukan barang baru di dunia pemasaran. Tapi, masih saja ada sejumlah pemasar yang keliru dan terjebak dalam pemahaman-pemahaman yang salah. Alhasil, bukan cuma bisnisnya yang jauh dari kata moncer, tapi bisnisnya juga ketinggalan jauh dari kompetitor. 

Iwan Setiawan,dalam plenary session Marketeers Tech For Business yang digelar di CGV Grand Indonesia, Jakarta bulan lalu membahas mitos dalam digital marketing yang masih saja muncul hingga saat ini. Percaya atau tidak, masih ada beberapa pemasar yang mempercayai mitos-mitos atau pemahaman-pemahaman keliru tersebut. Apa saja mitosnya?

Digital Marketing Hanya untuk Perusahaan Teknologi

Ada anggapan bahwa digital marketing hanya relevan bagi perusahaan teknologi atau yang memiliki keberadaan di e-commerce. Namun, hampir semua industri saat ini telah memiliki komponen digital dalam strategi pemasaran mereka.

Iwan menceritakan pengalaman dengan klien di MarkPlus, Inc.  dan berbagai merek yang diliput di Marketeers, terlihat jelas bahwa hampir semua industri kini terlibat dalam digital marketing. Menurut konsep customer journey dari MarkPlus,  terdapat lima tahap dalam proses perjalanan pelanggan yang dikenal dengan 5A,  yakni aware, appeal, ask, act, dan advocate.

Tahapan ini menggambarkan perjalanan konsumen dari mengenali produk hingga merekomendasikannya kepada orang lain. Proses ini tidak selalu linear seperti corong (funnel), melainkan lebih seperti jam pasir yang menunjukkan bahwa setiap tahap memiliki keterlibatan digital. Misalnya, dalam industri properti, meskipun pembelian akhir mungkin terjadi secara offline, tahap awal seperti pencarian dan penemuan produk sudah banyak dilakukan secara online. Contoh lainnya adalah industri otomotif di mana merek-merek seperti Wuling dan BMW sudah mulai menjual kendaraan melalui platform e-commerce seperti Tokopedia.

Bahkan, industri yang sebelumnya dianggap kurang terpapar digital seperti di segmen business to business (B2B) dan pertanian, kini juga mulai memanfaatkan digital marketing. Banyak perusahaan B2B yang menginginkan dashboard untuk layanan mandiri, sementara petani kini dapat membeli kebutuhan mereka secara online. Industri perbankan dan fashion juga telah memanfaatkan teknologi digital untuk mempermudah transaksi dan interaksi dengan konsumen.

“Jadi kalau Anda masih menganggap bahwa industrinya tidak butuh digital marketing mungkin Anda akan ketinggalan,” kata Iwan dalam Plenary Session Tech For Business 2024 yang digelar di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Digital Marketing itu Trial and Error

Ada mitos bahwa digital marketing adalah percobaan dan kesalahan (trial and error) hingga menemukan formula yang tepat. Ini sering menyebabkan pemborosan anggaran karena tidak ada strategi yang jelas. Namun, digital marketing sebenarnya memiliki konsep dan teknik yang dapat dipelajari, seperti memahami tahapan customer journey 5A.

Digital marketing tidak hanya tentang media sosial. Ada banyak aspek lain, seperti display ads, email marketing, social media ads, influencer marketing, webinar, search engine optimization (SEO), search engine marketing (SEM), chat commerce, e-commerce, social commerce, dan affiliate marketing.

Masing-masing memiliki peran dalam setiap tahap customer journey dan dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan pemasaran yang spesifik. “Kalau dilihat dalam spektrum penuh, digital marketing itu mengusung banyak konsep. Semuanya bisa dipelajari, tapi tidak mungkin semua bisa kita adopsi pada saat yang bersamaan,” lanjutnya.

Trafik adalah Segalanya

Seringkali merek fokus untuk mendapatkan traffic sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan relevansi dari trafik tersebut. Padahal, yang lebih penting adalah segmentasi yang tepat. Konsep STP (Segmentation, Targeting, Positioning) tetap relevan hingga kini.

Memahami profil konsumen, baik dari segi geografis, demografis, psikografis, maupun perilaku, sangat penting dalam menentukan strategi digital marketing yang efektif. “Trafik itu bukan nomor satu. Karena itu, fokuslah pada segmentasi,” katanya.

Bigger Influencer Tak Selalu Better Impact

Ada anggapan bahwa semakin besar influencer, semakin besar dampaknya. Namun, ini tergantung pada tujuan kampanye. Jika tujuannya adalah awareness dengan audiens yang luas, maka menggunakan influencer besar bisa efektif. 

Namun, untuk tujuan closing atau penjualan, menggunakan influencer yang lebih kecil dengan komunitas yang lebih intim bisa lebih efektif karena hubungan yang lebih dekat dan pengaruh yang lebih personal. “Jadi, jangan salah. Misalnya, ada manajemen minta jualan dengan digital marketing tapi pakainya mega influencer. Ini merupakan kesalahpahaman paling klasik dalam influencer marketing,” tuturnya. 

Milenial Disamakan dengan Gen Z 

Mitos digital marketing lainnya adalah anggapan bahwa Milenial dan Gen Z sama karena keduanya adalah generasi muda. Namun, Milenial saat ini berusia antara 28 hingga 43 tahun, banyak yang sudah memiliki keluarga dan tanggung jawab besar.

Sementara, Gen Z merupakan generasi yang lebih muda, lebih eksperimental, dan berani mencoba hal-hal baru. Perbedaan perilaku digital antara Milenial dan Gen Z juga signifikan. Milenial cenderung menampilkan versi terbaik dari diri mereka di media sosial dengan konten yang sudah disaring dan diedit secara profesional. Sebaliknya, Gen Z lebih menyukai keaslian, dengan konten yang lebih spontan dan kurang dipoles.

“Melakukan satu kampanye untuk Gen Z dan Milenial dengan kampanye yang sama, pada akhirnya cuma akan mendapat satu segmen saja. Karena itu, perlu menggunakan strategi multisegmen,” katanya. 

Bottom Funnel Paling Penting

Bottom funnel menjadi tahap dalam kampanye pemasaran yang berfokus pada aksi langsung dari pelanggan, seperti pembelian atau pendaftaran. Kampanye ini juga dikenal sebagai performance marketing, di mana hasilnya diukur berdasarkan tindakan spesifik yang dilakukan oleh pelanggan setelah melihat iklan atau kampanye tersebut.

Untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang, strategi pemasaran harus mencakup elemen dari semua bagian funnel, termasuk brand storytelling yang membantu membangun ikatan emosional dengan pelanggan.

Branding yang efektif fokus pada jangka panjang, menciptakan hubungan emosional dengan pelanggan, dan menceritakan kisah merek yang kuat. Kombinasi dari kedua strategi ini, performance marketing dan branding, akan mendukung funnel pemasaran berfungsi secara menyeluruh, dari akuisisi hingga retensi pelanggan.

Content Marketing Sama dengan Advertising

Penting untuk memahami bahwa content marketing bukan hanya tentang promosi produk, tetapi juga tentang menyediakan konten yang bermanfaat dan relevan bagi pelanggan. Konten yang dicari dapat bervariasi, mulai dari yang menghibur hingga yang mendidik.

Content marketing berfokus pada menyajikan konten yang bernilai bagi pelanggan. Sementara, advertising lebih tentang mengkomunikasikan pesan merek kepada pelanggan. Kedua pendekatan ini dapat digunakan bersamaan.

Digital Marketing = Selling

Mitos digital marketing selanjutnya adalah menganggap bahwa pemasaran digital semata hanya untuk jualan saja. Nyatanya, banyak yang bisa dilakukan dengan digital marketing.

Iwan mencontohkan digital marketing memampukan merek untuk membangun customer relationship yang lebih baik dengan masuk ke ranah digital. Selain itu, melalui kampanye digital, merek bisa membangun branding yang lebih baik.

Online Kills Offline

Pemikiran bahwa pemasaran online akan membunuh pemasaran offline adalah sebuah kesalahan. Di tengah arus digital yang begitu kuat, terdapat kebutuhan untuk detox digital di mana orang mencari cara untuk keluar dari realitas digital dan kembali ke realitas fisik.

Dalam konteks ini, pengalaman fisik dan interaksi sosial menjadi semakin penting. Mal atau pusat perbelanjaan yang fokus pada transaksi saja mungkin akan kalah dengan marketplace online. Namun, jika mereka dapat bertransformasi menjadi pusat pengalaman yang lebih sosial dan interaktif, mereka akan tetap hidup berdampingan dengan marketplace online.

Misalnya, mal yang menyediakan pengalaman unik, acara-acara live, dan tempat-tempat untuk bersosialisasi akan terus menarik pengunjung. Konsep third place atau tempat ketiga juga semakin populer. Meski orang-orang mungkin tetap menggunakan laptop atau ponsel mereka di tempat tersebut, keberadaan fisik di tempat itu menciptakan pengalaman yang berbeda dan lebih sosial.

Live event seperti konser musik dan pertandingan sepak bola di stadion masih selalu ramai. Ini menunjukkan bahwa pengalaman fisik tetap diminati meskipun harga tiket semakin mahal,” pungkas Iwan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top